Rabu, 21 November 2012

Anarki' Formasi Absurd Chelsea, Logika Purba Juventus


Jakarta - Sebuah eksperimen taktik yang tak biasa dilakukan oleh Roberto di Matteo dalam laga kontra Juventus. Lima bek diturunkan, dua jangkar di tengah, plus tiga playmaker, dengan Eden Hazard diplot menjadi false nine.

Hasil dari eksperimen Di Matteo memang tak membawa hasil memuaskan. The Blues malahan dilumat 0-3 oleh Juventus di markasnya, di Juventus Stadium, Rabu (21/11/2012) dinihari WIB, di Matchday V Grup E.

Pertanyaan awal bagi Di Matteo dalam formasi yang di atas kertas menjadi 5-2-3 itu adalah mengapa ia tak menurunkan Fernando Torres? Hal tersebut dapat dijawab dengan asumsi, bahwa Di Matteo tak ingin pola serangan Chelsea dapat terdeteksi bek-bek Juventus.

Berangkat dari asumsi tersebut, Di Matteo kemudian melakukan semacam "anarki" dalam formasi ia turunkan untuk membuat "ketidakaturan" pola permainan. Maka muncullah nama Juan Mata, Oscar, dan Hazard sebagai false nine di line-up awal. Dan Torres? Ia ada di bench, yang menurut beberapa olok-olok, merupakan posisi favoritnya.

Dengan dua jangkar siap tempur dalam diri John Obi Mikel serta Ramirez dan satu winger (kanan) pada Cesar Azpilicueta, asumsi Di Matteo yang ingin membuat taktik Chelsea tak terbaca, justru menjadi sangat mudah terbaca, Di Matteo ingin memainkan fast counter-attack.

Hal tersebut pertama dapat terlihat ketika diturunkannya Azpilicueta. Dengan mengonsentrasikan tiga bek Juve di tengah melalui trio Hazard-Mata-Oscar, kolaborasi Azpilicueta-Branislav Ivanovic dalam menyisir sisi kiri Juve terlihat meyakinkan.

Plot Ivanovic sebagai petarung khusus Kwadwo Asamoah, lalu berikan bola panjang kepada Azpilicueta, serangan balik The Blues pun sudah siap tersaji. Tetapi itu semua hanya berlaku di atas kertas.

Ya, di atas kertas, semua asumsi Di Matteo memainkan pola tersebut -- jika memang demikian adanya- -- terlihat berhasil. Benar bahwa peluang on goal pertama Chelsea melalui serangan balik sudah terjadi pada menit ke delapan, melalui kolaborasi Oscar-Hazard. Tapi apa yang terjadi setelahnya?

Juve yang sadar Chelsea hanya bermain menunggu kemudian menyemut di barisan pertahanan The Blues. Fabio Quagliarella bahkan dapat mencetak trigol jika saja Petr Cech tak bermain gemilang. Meski hal itu tak mampu membuat Chelsea tak kebobolan tiga gol tanpa balas.

Juve terus menekan hanya dengan menuruti logika purba sepakbola: serang sebanyak mungkin, maka gol pun akan tercipta. Dan memang itu yang mereka lakukan. Asamoah diplot untuk meng-cover Azpilicueta, sementara Ivanovic dan Ashley Cole dipaksa bermain di dalam kotak penalti.

Hasilnya dapat terlihat di menit ke-61, ketika Asamoah tanpa perlu merasa lancang melakukan penetrasi di sisi kanan Chelsea, untuk kemudian mengirimkan umpan ke Vidal, dan gol. Di mana Azpilicueta dan Ivanovic saat itu? Hanya Tuhan yang tahu.

Di lini tengah, Andrea Pirlo, yang mengomandoi Claudio Marchisio dan Arturo Vidal, praktis tak perlu repot-repot menyuruh dua "anak buahnya" menjadi gelandang box-to-box, sekaligus menutup ruang pergerakan Oscar-Mata-Hazard, sebab oleh Di Matteo pun ketiga pemain bernaluri menyerang itu juga dipaksa turun bertahan.

Pirlo pun sepanjang laga tetap menjadi deep-lying playmaker nan anggun tanpa ada marking ketat yang berarti. Dengan leluasa ia menjadi lakon favoritnya di lapangan, seorang metronom, arsitek permainan tim.

Di tengah tuntutan untuk mengejar dua gol dan hanya memiliki pilihan untuk memasukkan seorang Torres -- yang seakan telah mengalami amnesia cara mencetak gol -- memang terasa komikal. Akan tetapi, Di Matteo perlu melakukannya, dan hasilnya? Torres lagi-lagi tak mencetak gol selain hanya berlari, membawa bola, dan itu pun terebut.

"Anarki" formasi absurd Di Matteo pun kian menemukan cacatnya setelah Giovinco melengkapi pesta Juve melalui golnya di menit ke-90. Dan selayaknya filosofi "anarki", tak ada yang patut disalahkan dalam sebuah kekacauan, kecuali kekacauan itu sendiri. Dalam laga ini, kekacauan tersebut bernama Di Matteo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thank you